Jumat, 27 April 2012

Lingkungan Hidup Dan Pembangunan Berkelanjutan PDF Print E-mail
Written by S.Budhisantosa - Puslit Pranata Pembangunan UI   
Tuesday, 21 July 2009 08:58
Keberhasilan manusia mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya sebagai makhluk yang tertinggi derajadnya di muka bumi (khalifah) adalah berkat kemampuannya beradaptasi terhadap lingkungan hidupnya secara aktif. Sungguhpun manusia merupakan makhluk lingkungan (territorial being) yang tidak mungkin dipisahkan dari lingkungan hidupnya sebagai tempat bermukim, manusia tidak menggantungkan dirinya pada kemurahan lingkungan semata-mata. Sejak terusir dari Secara simbolik, sejak meninggalkan Taman Firdaus yang segala kebutuhan hidupnya serba ada dan dalam jumlah serba banyak untuk menjamin hidupnya, terpaksa harus bekerja keras dengan menguasai alam semesta beserta segala isinya.

Jelaslah bahwa kisah kejadian tentang asal-usul manusia pertama, yaitu Adam dan Siti Hawa, mengandung pengertian bahwa manusia harus mengembangkan diri untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan sebagai manusia dengan menguasai jagad raya beserta isinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejak hidup di bumi manusia harus mengembangkan peralatan dan cara pengendaliannya untuk membangun lingkungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungannya serta mengolah sumberdaya alam yang tersedia. Pernyataan poluler tentang usaha manusia membina hubungan secara aktif dan timbal balik seorang pelopor Antropologi kenamaan Gordon Childe diabadikan dalam bukunya tentang sejarah peradaban manusia Man Makes Himself (19..).
Berkat kemampuan akal dan ketrampilan kerja kedua tangannya, manusia dapat memahami lingkungannya dan menghimpun pengalaman sebagai pengetahuan dan menciptakan peralatan sebagai penyambung keterbatasan jasmaninya. Keunggulan manusia berfikir secara metaforik dan kemampuan kerja dengan menggunakan peralatan itu, manusia dapat menghimpun pengalaman, mengembangkan pengalaman dan kemampuan menguasai bumi dengan segala isinya. Akhirnya manusia menjadi makhluk pemangsa yang terbesar di muka bumi. Manusia dapat melaksanakan perintah sang Pencipta untuk menguasai ikan di lautan, menguasai segala binatang yang hidup di daratan maupun burung-burung yang berterbangan di langit, untuk mengembangkan keturunan dan memenuhi bumi. Karena itulah manusia berhasil menghantar dirinya sebagai khalifah di muka bumi dan hidup tersebar luas di muka bumi.

Sungguhpun keunggulan manusia telah membuka peluang untuk menguasai bumi dengan segala isinya dan dapat mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan di manapun ia suka, tidaklah berarti bahwa kekuasaan manusia itu tanpa mengenal batas. Dengan peralatan di tangan sejak zaman batu tua (palaeolithicum) hingga masa industri yang didominasi dengan penerapan teknologi modern, manusia senantiasa mengalami sejarah kemajuan dan kemerosotan menuju ke peradaban. Dengan peralatan batu yang sederhana, manusia dengan lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya dengan meramu dan berburu binatang liar. Kemudahan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup itu berhasil meningkatkan kesejahteraan yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan hidup dalam jumlah, ragam dan mutunya. Dengan demikian manusia dipacu untuk meningkatkan intensitas pengolahan sumberdaya alam yang tersedia dan pada gilirannya menimbulkan dampak pada lingkungan hidup mereka. Kemajuan peradaban berkat kemampuan manusia menguasai lingkungannya itu telah menimbulkan dampak pada hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya.

Intensitas pengolahan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bertambah besar jumlahnya, ragam dan mutunya itu telah mempercepat proses pemiskinan ataupun sekurang-kurangnya mengganggu keseimbangan fungsi lingkungan hidup setempat. Akibatnya pemenuhan kebutuhan hidup penduduk setempatpun menjadi sulit sehingga mengancam kesejahteraan hidup mereka. Kesulitan itu mendorong manusia untuk kembali mengembangkan teknologi pengolahan sumberdaya alam, sebagaimana tercermin dalam peninggalan sisa-sisa peralatan pada zaman batu muda, yang mempermudah manusia mengolah sumberdaya alam. Selanjutnya manusia mampu mengembangkan peradaban yang lebih kompleks dengan munculnya kota sebagai pusat kekuasaan dengan penduduk yang tidak harus secara langsung mengolah sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berkat kemampuan penduduk pedesaan menghasilkan surplus.

Jelaslah bahwa sejarah peradaban manusia senantiasa mengalami pasang-surut karena ulahnya sebagai khalifah di muka bumi. Namun kekuasaan manusia itu ada batasnya, karena apapun yang dilakukan terhadap lingkungannya akan menimbulkan dampak timbal balik yang tidak terelakan. Peningkatan intensitas pengolahan sumberdaya alam akan mempercepat pengurasan persediaan yang pada gilirannya akan mengancam kesejahteraan penduduk. Akan tetapi dengan keunggulannya, manusia mampu mengatasi keterbatasan itu dengan mengembangkan teknologi dan cara-cara pengendaliannya, untuk meningkatkan efisiensi dan produksivitas kerja mereka tanpa menghacurkan pola-pola hubungan timbal balik dengan lingkungannya (M.Harris, 19) secara selaras, serasi dan berkeseimbangan. Dengan mengacu pada kearifan lingkungan (ecological wisdom) yang dikembangkan dari abstraksi pengalaman masa lampau dan digunakan untuk membina hubungan dengan lingkungannya secara timbal balik (adaptation), manusia mampu merawat keseimbangan fungsi lingkungan hidupnya (ecological equilibrium).

Namun dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia karena pertambahan jumlah penduduk dunia serta meningkatnya kesejahteraan hidup yang disertai meningkatnya kebutuhan hidup manusia di satu pihak, dan kemapuan teknologi modern yang mempermudah manusia mengolah sumberdaya alam yang terbatas, seringkali kearifan lingkungan (ecological wisdom) yang mereka kembangkan sebagai kendali terlupakan. Pengolahan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan yang sehat diabaikan demi terpenuhinya kebutuhan hidup manusia yang cenderung terus meningkat dalam jumlah, ragam dan mutunya. Pesatnya kemajuan teknologi modern tidak secara berimbang diikuti dengan perkembangan pranata sosial sebagai kendali. Kesenjangan antara kemajuan teknologi modern dengan perkembangan pranata sosial sebagai kendali (culture lag) dalam sejarah peradaban manusia itu menjadi sumber bencana yang merusak keseimbangan lingkungan hidup (ecological equilibrium). Namun demikian manusia tidak pernah mengenal menyerah. Keberlanjutan hubungan antar manusia dengan lingkungannya secara berkelanjutan (sustainable adaptation) harus tetap dirawat di era pembangunan yang mendorong manusia untuk meningkatkan intensitas pengolahan sumberdaya dan pengelolaan lingkungan hidup yang sehat demi peningkatan kesejahteraan umum.

PEMBANGUNAN

Apapun makna yang diberikan, pada hakekatnya "pembangunan" itu mengandung implikasi perubahan yang direncanakan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam kurun waktu tertentu, tidak ada jalan lain kecuali dilakukan dengan penerapan teknologi maju yang dapat memperlancar pencapaian sasaran. Sementara itu, setiap penerapan teknologi baru, khususnya yang digunakan untuk memacu perkembangan ekonomi, betapapun sederhananya, akan senantiasa memicu serangkaian perubahan pada sistem produksi, distribusi dan konsumsi yang berdampak luas pada tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan. Di lain pihak, peningkatan produksi barang kebutuhan hidup dengan mengolah sumberdaya alam secara lebih intensif, akan mempengaruhi pola-pola hubungan antar manusia dengan lingkungannya.

Pengalaman penerapan teknologi maju di benua lama untuk mengembankan industri pada awal abad XIX telah membuktikan betapa hubungan antar manusia dan lingkungan hidupnya kehilangan keseimbangan. Dalam tempo yang relatif singkat hutan-hutan setempat tidak dapat menghasilkan cukup banyak kayu yang diperlukan untuk pembangunan. Demikian juga binatang liar tidak lagi dapat diharapkan menghasilkan kulit berbulu tebal. Selama kurun waktu 50 tahun (1850-1900) tercatatat lebih dari 35 juta penduduk Eropa terpaksa mengungsi ke luar untuk mencari penghidupan di daerah koloni.

Pengalaman di Eropa itu berulang di kebanyakan negara yang sedang berkembang dewasa ini, termasuk Indonesia. Setelah selesai dengan "revolusi integratif" yang mempersatukan bangsa (C.Geertz, 1966) di bawah kepemimpinan Bung Karno, pemerintahan Orde Baru melanjutkan dengan "revolusi pembangunan". Pembangunan nasional diselenggarakan dengan percepatan pada pertumbuhan ekonomi yang ditopang dengan penerapan teknologi maju serta stabilitas nasional sebagai persyaratan.
Percepatan pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang tidak ditopang dengan perkembangan pranata sosial yang diperlukan ternyata tidak berhasil memacu perkembangan ekonomi (economic development) yang berakar kuat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih didominasi tradisi agraris yang bertumpu pada ekonomi subsistensi yang penuh keseimbangan (equilibrious society) harus dengan masyarakat industri yang bertumpu pada ekonomi pasar (market oriented economy) yang mengejar keuntungan materi. Dalam keadaan sedemikian itu pertumbuhan ekonomi hanya di nikmati oleh segolongan kecil masyarakat yang telah siap memanfaatkan peluang dalam pembangunan. Akibatnya masyarakat Indonesia mengalami pergeaseran dari masyarakat yang berkesenangan (equilibrious society) ke arah masyarakat yang berkesenjangan sosial (disequilibrious society) dengan segala implikasi sosial, politik dan keamanan.

Sementara itu penerapan teknologi modern yang cenderung lebih exploitatif dan expansif penerapannya untuk mengimbangi besarnya biaya yang diperlukan telah berlangsung tanpa kendali yang efektif. Akibatnya pengurasan sumberdaya alam berlangsung secara besar-besaran tanpa mengindahkan keseimbangan fungsi lingkungan. Kenyataan tersebut telah menyisihkan sebagian masyarakat dari sumberdaya alam yang selama ini mereka rawat secara berkelanjutan, karena mereka tidak mampu bersaing tanpa perlindungan dengan pihak "luar" yang memiliki berbagai keunggulan. Akibatnya bukan hanya kesenjangan sosial bertambah lebar dan dalam, melainkan juga rusaknya keseimbangan fungsi lingkungan.

Persaingan yang tidak sehat di kalangan masyarakat untuk memperebutkan sumberdaya alam dan lingkungan yang sehat tanpa perlindungan yang tegas telah memicu pertikaian sosial yang seringkali disertai kekerasan (violent conflict) yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Mengingat kenyataan tersebut, model pembanguinan nasional harus diubah, bukan lagi trilogi, melainkan pancalogi dengan menambahkan prinsip sosial dan ekologi. Pembangunan nasional yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi menjadi perkembangan ekonomi yang kuat berakar dalam kehidupan masyarakat harus ditopang dengan pengembangan pranata sosial secara memadai. Dengan lain perkataan, sejalan dengan usaha pembangunan sektor ekonomi harus diimbangi dengan usaha memberdayakan masyarakat agar dapat mengambil bagian secara menguntungkan. Pemberdayaan itu tidak sebatas pada pembekalan ketrampilan dan keahlian, melainkan juga kondisi lingkungan sosial yang menjamin kebebasan penduduk untuk menentukan pilihan hidupnya (cultural freedom), keadilan sosial dan demokrasi politik. Tanpa ke 3 persyaratan itu, masyarakat luas tidak akan mampu ikut mengambil bagian secara menguntungkan, karena sebagian besar dari mereka itu masih didominasi tradisi agraris masing-masing.

Dengan ke 3 persyaratan tersebut, masyarakat akan merasa aman dalam usahanya karena perlindungan atas hak asazi mereka sebagai manusia serta perlindungan atas lingkungan hidup tempat mereka bermukim dan mengembangkan kebudayaan masing-masing. Sungguhpun tidak mungkin lagi bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan lingkungan hidup dengan ke 5 fungsi sosial secara penuh. Setidak-tidaknya ada jaminan bagi mereka untuk mendapatkan menciptakan lingkungan yang aman, terjamin sumber pencaharian atau makanannya, tersedia tempat mengembangkan keturunan secara aktif, terawatnya sarana integrasi sosial dan arena tempat aktualisasi diri bagi warganya dan kebutuhan akan keamanan. Terpenuhinya jaminan tersebut juga akan memperkuat kesadaran penduduk untuk mengelola lingkungan hidupnya dan mengolah sumberdayanya secara berkelanjutan demi pelestarian fungsi lingkungannya secara menyeluruh.

Sementara itu perhatian terhadap ekologi dalam pembangunan diperluka sebagai kendali atas pengelolaan lingkungan dan pengolahan sumberdaya alam yang semakin langka (Environment scarcity). Pertiakaian antar bangsa dan bahkan antar kelompok sosial dalam lingkungan masyarakat bangsa yang lebih luas dewasa ini, pada hakekatnya berawal pada perebutan penguasaan sumberdaya dan lingkungan yang terasa semakin langka.

Dalam memperebutkan lingkungan dan sumberdaya alam yang semakin langka itu, manusia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dengan berbagai macam dalih dan seringkali juga mengaktifkan simbol-simbol ikatan primordial kesukubangsaan, kebangsaan dan keagamaan ataupun ideologi politik. Karena itu, pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum jangan sampai sebaliknya menimbulkan kesengsaraan umum. Pembangunan, karena itu bukan semata-mata sekedar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, melainkan juga harus mampu memacu perkembangan sosial-budaya dan melestarikan fungsi lingkungan sebagai tempat manusia mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Manusia sebagai makhluk lingkungan (territorial being), tidak mungkin dipisahkan dari lingkungannya dan tidak mungkin merusak lingkungannya untuk kepentingan sejenak atau bagi generasinya. Semata. Manusia mempunyai tanggungjawab melestarikan fungsi lingkungan bagi generasi penerus mereka. Apa yang mereka perlukan adalah pengaturan yang disepakati bersama untuk melestarikan ke 5 fungsi sosial lingkungannya. Masalahnya siapa yang akan mengambil prakarsa untuk memulainya secara perorangan maupun kolektif.
 
iklan_a

logodetiknews
perwakumalinau

Artikel dan Opini

Kota Hijau Tanpa TransportasiTuesday, 06 December 2011 | suwardi
article thumbnail Oleh Isyana Artharini Perdebatan soal perubahan iklim di Indonesia...
baca selengkapnya
LANGKAH KOMITMEN ENVIRO- MASTERPLAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIATuesday, 22 November 2011 | Raldi H Koestoer
article thumbnailLangkah Komitmen Hijau: •Komitmen Enviro/Hijau–Pembangunan Hijau...
baca selengkapnya
Beda Sarjana dengan CendekiawanMonday, 14 November 2011 | suwardi
article thumbnail Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia merupakan wadah bagi...
baca selengkapnya

Pendirian Perwaku

Perhimpunan ini dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 5 Juni 2004, bertepatan dengan hari lingkungan hidup dunia, dilaunching pada tanggal 19 Februari 2005 di hotel Hilton Jakarta, dan menyelenggarakan Musyawarah Nasional pertama kali (Munas I)
pada tanggal 24 November 2007 di Jakarta.

Misi

Perhimpunan ini didedikasikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Perhimpunan akan mendorong upaya pemahaman terhadap sosio-kultural dan geo-ekologis Indonesia guna berkembangnya pengetahuan berbasis ke-Indonesia-an. Anggota perhimpunan berasal dari berbagai kalangan yang peduli pada lingkungan hidup, antara lain para akademisi, praktisi, pemerintahan dan penggiat masalah lingkungan.

'Ical kerap bicara besar', ujar Dubes AS Lynn B Pascoe (Wikileaks report)

'Ical kerap bicara besar', ujar Dubes AS Lynn B Pascoe (Wikileaks report)

Sabtu, 22 Oktober 2011

Krisis air memasuki musim kemarau 2011 terjadi di sejumah daerah, terutama di Pulau Jawa. Krisis ini makin mengkhawatirkan. Krisis air semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, degradasi lingkungan dan menurunnya ketersediaan air. Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek ditemukan sekitar 77% kabupaten/kota di Jawa memiliki 1-8 bulan defisit air dalam setahun.
Air merupakan sumber kehidupan. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air kita akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam kacamata ekonomi, air pun menduduki peran utama bagi berbagai kepentingan seperti budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, transportasi, hingga penyediaan air bersih dan bahan baku air minum. Orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal untuk membeli air ketika terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara tropis, seperti Indonesia, harus berjalan puluhan kilometer untuk bisa mendapatkan sumber air di musim kemarau. Ketergantungan manusia terhadap air semakin besar sejalan dengan bertambahnya penduduk. Saat ini, pasokan air berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika bumi baru dihuni 1,8 miliar penduduk. Para ahli meramalkan, dunia yang diperkirakan berpenduduk 8,3 miliar pada 2025 akan menghadapi kelangkaan air bersih yang cukup parah. Tak hanya problem kelangkaan air yang kita hadapi, pencemaran pun telah menjadi agenda tambahan yang turut memperumit problem seputar air ini. Semua orang tentu berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga dari limbah cemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan. Akibatnya, hampir separo penduduk dunia (hampir seluruhnya di negara-negara berkembang) dikabarkan menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Setumpuk problem pun ditemui dalam pengelolaan air, termasuk di sini adalah banyaknya sandungan yang dijumpai pada pengelolaan air bersih untuk perkotaan. Untuk menyediakan air bersih, fasilitas sanitasi dan pengendalian banjir adalah merupakan masalah penting bagi sebuah kota. Diperlukan zonasi untuk pembangunan perumahan dan industri agar tak mengganggu sumber daya air. Akan tetapi, ini bukan hal yang mudah untuk sebuah kota berpendapatan rendah. Masalahnya cukup kompleks mengingat pengelola harus memadukan kebutuhan air untuk penduduk (rumah tangga) dan industri. Belum lagi, kebutuhan akan air bersih dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan berkembangnya industrialisasi. Masalah lainnya yang tak kalah pentingnya adalah ratusan juta penduduk Indonesia terutama masyarakat miskin dan pedesaan saat ini belum dapat memperoleh kemudahan pelayanan air bersih dan penyehatan lingkungan yang memadai. Masih terkait dengan debit air, di beberapa daerah dijumpai fenomena di mana terjadi ketimpangan debit air antara musim hujan dan musim kemarau. Sebagai contoh, di Jawa Barat ketimpangan debit air sangat mencolok antara musim hujan dan kemarau. Pada musim hujan debit air sangat tinggi (81,4 miliar m3 per tahun), sedang pada musim kemarau debit air sangat rendah (8,1 milyar m3 per tahun). Ironisnya lagi, meski di musim hujan debit air melimpah, namun air tersebut dipenuhi sampah dan lumpur. Konservasi air merupakan isu serius yang harus betul-betul digarap. Konservasi yang dapat diterjemahkan sebagai kekekalan jangan sampai hanya dipandang sebagai tindakan penanaman pohon, tetapi merupakan semua tindakan yang membuat keberadaan air menjadi kekal dan lestari. Air yang berasal dari hujan yang turun harus ditahan supaya lebih lama di daratan. Perlu upaya-upaya konservasi air yang disebut panen hujan dan aliran permukaan. Air dapat ditampung dalam berbagai bentuk konstruksi dari skala kecil sampai waduk multifungsi yang dapat mempunyai nilai ekonomi tinggi melalui pembangkit tenaga listrik, usaha perikanan, sumber air bersih dan pariwisata. Arti lebih luas adalah penanaman pohon, pembuatan embung, resapan air, menanggulangi laju erosi dan sedimentasi, mereduksi kuantitas banjir dan longsor, serta normalisasi sungai. Mengatasi kekeringan berarti juga mengatasi banjir dan longsor dalam satu kesatuan program yang utuh. Konservasi air berarti kita melakukan keseimbangan yang harmonis dan serasi atas eksistensi air sebagai sumber kehidupan. Masih terkait dengan pengelolaan sumber daya air, kita masih terjebak pada pola "mutilasi". Berbagai diskusi, baik di tingkat global maupun di tingkat nasional dan lokal, selalu memunculkan kesan kuat bahwa sumber daya air dikelola secara terpotong-potong. Betapa tidak, seperti di Indonesia, ada kebijakan bahwa air permukaan merupakan objek pengelolaan Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah, air tanah ada di bawah pengelolaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan konservasi kawasan hulu dikelola Kementerian Kehutanan. Tampak sekali bahwa sumber daya air tidak dikelola dalam suatu kesatuan siklus hidrologi, tetapi di-"mutilasi" menjadi beberapa bagian. Dan, kenyataan di lapangan, koordinasi di antara ketiga pemegang otoritas utama sumber daya air ini sulit berlangsung dengan baik. ***
Penulis skenario film-film dokumenter tentang lingkungan,
penerima Anugerah Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI.