Krisis air memasuki musim kemarau 2011 terjadi di sejumah daerah,
terutama di Pulau Jawa. Krisis ini makin mengkhawatirkan. Krisis air
semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, degradasi
lingkungan dan menurunnya ketersediaan air. Menurut kajian Bappenas
(2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek ditemukan sekitar 77% kabupaten/kota di Jawa memiliki 1-8 bulan defisit air dalam setahun.
Air merupakan sumber kehidupan. Kita mampu bertahan hidup tanpa makan
dalam beberapa minggu, namun tanpa air kita akan mati dalam beberapa
hari saja. Dalam kacamata ekonomi, air pun menduduki peran utama bagi
berbagai kepentingan seperti budidaya pertanian, industri, pembangkit
tenaga listrik, transportasi, hingga penyediaan air bersih dan bahan
baku air minum. Orang rela bersusah-susah dan berani membayar mahal
untuk membeli air ketika terjadi krisis air. Masyarakat desa di negara
tropis, seperti Indonesia, harus berjalan puluhan kilometer untuk bisa
mendapatkan sumber air di musim kemarau. Ketergantungan manusia
terhadap air semakin besar sejalan dengan bertambahnya penduduk. Saat
ini, pasokan air berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan
tahun 1970 ketika bumi baru dihuni 1,8 miliar penduduk. Para ahli
meramalkan, dunia yang diperkirakan berpenduduk 8,3 miliar pada 2025
akan menghadapi kelangkaan air bersih yang cukup parah. Tak hanya
problem kelangkaan air yang kita hadapi, pencemaran pun telah menjadi
agenda tambahan yang turut memperumit problem seputar air ini. Semua
orang tentu berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan
yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga dari limbah
cemaran. Namun kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan
disia-siakan. Akibatnya, hampir separo penduduk dunia (hampir
seluruhnya di negara-negara berkembang) dikabarkan menderita berbagai
penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air, atau oleh air yang
tercemar. Setumpuk problem pun ditemui dalam pengelolaan air, termasuk
di sini adalah banyaknya sandungan yang dijumpai pada pengelolaan air
bersih untuk perkotaan. Untuk menyediakan air bersih, fasilitas
sanitasi dan pengendalian banjir adalah merupakan masalah penting bagi
sebuah kota. Diperlukan zonasi untuk pembangunan perumahan dan industri
agar tak mengganggu sumber daya air. Akan tetapi, ini bukan hal yang
mudah untuk sebuah kota berpendapatan rendah. Masalahnya cukup
kompleks mengingat pengelola harus memadukan kebutuhan air untuk
penduduk (rumah tangga) dan industri. Belum lagi, kebutuhan akan air
bersih dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan berkembangnya
industrialisasi. Masalah lainnya yang tak kalah pentingnya adalah
ratusan juta penduduk Indonesia terutama masyarakat miskin dan pedesaan
saat ini belum dapat memperoleh kemudahan pelayanan air bersih dan
penyehatan lingkungan yang memadai. Masih terkait dengan debit air, di
beberapa daerah dijumpai fenomena di mana terjadi ketimpangan debit air
antara musim hujan dan musim kemarau. Sebagai contoh, di Jawa Barat
ketimpangan debit air sangat mencolok antara musim hujan dan kemarau.
Pada musim hujan debit air sangat tinggi (81,4 miliar m3 per tahun),
sedang pada musim kemarau debit air sangat rendah (8,1 milyar m3 per
tahun). Ironisnya lagi, meski di musim hujan debit air melimpah, namun
air tersebut dipenuhi sampah dan lumpur. Konservasi air merupakan isu
serius yang harus betul-betul digarap. Konservasi yang dapat
diterjemahkan sebagai kekekalan jangan sampai hanya dipandang sebagai
tindakan penanaman pohon, tetapi merupakan semua tindakan yang membuat
keberadaan air menjadi kekal dan lestari. Air yang berasal dari hujan
yang turun harus ditahan supaya lebih lama di daratan. Perlu
upaya-upaya konservasi air yang disebut panen hujan dan aliran
permukaan. Air dapat ditampung dalam berbagai bentuk konstruksi dari
skala kecil sampai waduk multifungsi yang dapat mempunyai nilai ekonomi
tinggi melalui pembangkit tenaga listrik, usaha perikanan, sumber air
bersih dan pariwisata. Arti lebih luas adalah penanaman pohon,
pembuatan embung, resapan air, menanggulangi laju erosi dan
sedimentasi, mereduksi kuantitas banjir dan longsor, serta normalisasi
sungai. Mengatasi kekeringan berarti juga mengatasi banjir dan longsor
dalam satu kesatuan program yang utuh. Konservasi air berarti kita
melakukan keseimbangan yang harmonis dan serasi atas eksistensi air
sebagai sumber kehidupan. Masih terkait dengan pengelolaan sumber daya
air, kita masih terjebak pada pola "mutilasi". Berbagai diskusi, baik
di tingkat global maupun di tingkat nasional dan lokal, selalu
memunculkan kesan kuat bahwa sumber daya air dikelola secara
terpotong-potong. Betapa tidak, seperti di Indonesia, ada kebijakan
bahwa air permukaan merupakan objek pengelolaan Kementerian Permukiman
dan Prasarana Wilayah, air tanah ada di bawah pengelolaan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan konservasi kawasan hulu
dikelola Kementerian Kehutanan. Tampak sekali bahwa sumber daya air
tidak dikelola dalam suatu kesatuan siklus hidrologi, tetapi
di-"mutilasi" menjadi beberapa bagian. Dan, kenyataan di lapangan,
koordinasi di antara ketiga pemegang otoritas utama sumber daya air ini
sulit berlangsung dengan baik. ***
Penulis skenario film-film dokumenter tentang lingkungan,
penerima Anugerah Penulis Muda Pertanian 2009 Kementan RI.
Sabtu, 22 Oktober 2011
permisi
hutan di tebang kering kerontang
hutan di tebang banjir datang
hutan di tebang penyakit meradang
hutan di tebang bangsa ini tenggelam
adakah engkau tau ini adalah hukuman
adakah engkau tau ini adalah peringatan
adakah engkau tau ini adalah ancaman
adakah engkau tau ini adalah ujian Tuhan
sadar hey sadarlah wahai anak negeri ....!
Langganan:
Postingan (Atom)